Header Ads Widget


 

Bukti Lengkap Tak Diindahkan, Surat Tanah Kaum Suku Tanjung ‘Terganjal’ di Meja Wali Nagari Supayang



PANTAUGLOBAL.COM, SOLOK – Polemik kepemilikan lahan kaum Suku Tanjung di Nagari Supayang, Kabupaten Solok, kembali memanas. Pasalnya, Wali Nagari Supayang, Darmansyah, diduga mempersulit proses penandatanganan surat kepemilikan lahan yang telah dilengkapi dengan bukti dan data sah dari pihak terkait.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, dokumen tersebut sejatinya sudah diketahui dan disetujui oleh pihak Mamak 21 serta Kerapatan Adat Nagari (KAN) Supayang. Namun hingga kini, Wali Nagari belum juga menandatangani surat dimaksud.

Beberapa awak media dan perwakilan LSM yang turut menunggu proses administrasi di kantor nagari akhirnya kecewa, lantaran merasa “dipermainkan” oleh pihak pemerintah nagari.

“Bukti dan data sudah lengkap, tapi Wali Nagari terus mengulur waktu tanpa alasan yang jelas,” ujar salah seorang sumber dari pihak kaum Suku Tanjung kepada wartawan, Senin (27/10/2025).

Ketika dikonfirmasi, Wali Nagari Supayang, Darmansyah, justru menyebut bahwa surat kepemilikan lahan tersebut masih bermasalah.
“Surat kepemilikan lahan kaum Suku Tanjung di Supayang masih bermasalah, makanya belum bisa saya tandatangani,” ucapnya singkat.

Sikap tersebut menimbulkan pertanyaan publik terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seorang Wali Nagari dalam proses administrasi tanah adat, terutama ketika seluruh unsur adat telah memberikan pengesahan.
Kasus ini kini menjadi sorotan kalangan masyarakat dan media yang menilai perlu adanya transparansi dan kejelasan dari pemerintah nagari demi menjaga kepercayaan publik. (*)

Penulis: Dedy Gunawan Samosir

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Sanksi bagi Wali Nagari (Kepala Desa di Minangkabau) yang tidak menjalankan keputusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) diatur melalui mekanisme hukum adat dan juga dapat berimplikasi pada aspek pemerintahan formal.
    Sanksi Adat
    Secara adat, keputusan KAN bersifat mengikat bagi masyarakat nagari, termasuk Wali Nagari, yang merupakan bagian dari "Tungku Tigo Sajarangan" (tiga pilar kepemimpinan nagari: alim ulama, cerdik pandai, dan niniak mamak/pemimpin suku). Jika Wali Nagari mengabaikan keputusan adat, sanksi yang mungkin diberikan dapat meliputi:
    Teguran Adat: Peringatan secara musyawarah oleh niniak mamak dan tokoh adat lainnya di balai adat.
    Sanksi Sosial: Berupa pengucilan sosial atau isolasi dari kegiatan adat dan kemasyarakatan tertentu dalam nagari, yang sangat berdampak pada kedudukan sosial dan kewibawaan yang bersangkutan.
    Denda Adat: Sanksi materiil berupa denda (japuik) dalam bentuk barang tertentu (seperti semen, hewan ternak, atau uang) yang telah disepakati sesuai dengan "adat salingka nagari" (aturan adat setempat).
    Pemberhentian dari Jabatan Adat: Jika pelanggaran sangat berat dan berulang, dapat dilakukan proses adat untuk pencabutan gelar atau pemberhentian dari peran dalam struktur adat.
    Sanksi Hukum Formal (Pemerintahan)
    Wali Nagari adalah jabatan pemerintahan formal yang diatur oleh undang-undang dan peraturan daerah (Perda). Pengabaian keputusan KAN yang telah disepakati secara musyawarah dan mufakat dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajibannya dalam membina, melestarikan, dan mengembangkan kehidupan sosial budaya serta adat istiadat masyarakat nagari.
    Meskipun keputusan KAN seringkali tidak memiliki kewenangan eksekutorial yang sah secara hukum negara, jika permasalahan tersebut dibawa ke ranah pemerintahan daerah, sanksi formal dapat berupa:
    Teguran Tertulis: Dari atasan langsung (Camat atau Bupati).
    Pemberhentian Sementara: Sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU tentang Desa (yang setara dengan Wali Nagari) atau Perda setempat.
    Pemberhentian Tetap: Jika terbukti melanggar sumpah jabatan, norma adat yang vital, dan perundang-undangan yang berlaku, Wali Nagari dapat diberhentikan dari jabatannya melalui mekanisme yang diatur dalam Perda.
    Secara ringkas, sanksi utamanya berakar dari hukum adat, namun kedudukan Wali Nagari sebagai pemimpin formal juga membuatnya tunduk pada aturan pemerintahan yang mengamanatkan penghormatan terhadap adat setempat.

    BalasHapus
  2. Wali Nagari yang menentang keputusan adat di Minangkabau berpotensi melanggar hukum, karena sistem pemerintahan nagari mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat dan lembaga adat seperti Kerapatan Adat Nagari (KAN). Namun, status pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran undang-undang atau sekadar pelanggaran norma adat bergantung pada konteks dan regulasi yang berlaku.
    Berikut penjelasannya:
    Pengakuan Hukum Adat: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di Sumatera Barat, Nagari diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya melalui Peraturan Daerah (Perda).
    Peran Wali Nagari dan KAN: Wali Nagari adalah pimpinan pemerintahan nagari, sedangkan KAN adalah lembaga yang membina, mengembangkan, dan memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan sengketa adat. Terdapat pembagian peran dan kewenangan antara pemerintah nagari dan lembaga adat, yang idealnya harus saling bersinergi.
    Hierarki Hukum: Keputusan adat yang disepakati melalui musyawarah di KAN memiliki kekuatan hukum mengikat dalam tatanan masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang lebih tinggi.
    Potensi Pelanggaran Undang-Undang:
    Jika penentangan Wali Nagari terhadap keputusan adat melanggar Perda atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengakui dan mengatur kewenangan adat, maka ia dapat dianggap melanggar hukum positif.
    Wali Nagari memiliki kewajiban untuk mengerti dan mengamalkan hukum adat serta adat salingka nagari (adat setempat). Mengabaikan keputusan adat yang sah dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan mandat jabatannya.
    Singkatnya, Wali Nagari wajib menghormati dan, dalam banyak kasus, menjalankan keputusan adat yang telah disepakati oleh KAN dan masyarakat setempat, selama keputusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional. Konflik antara keputusan adat dan kebijakan pemerintah nagari biasanya diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus