TANGERANG,Pantauglobal,Com---- Parah Tanpa Kontrol Sosok Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bandung Ikwan Ratsudy, S.H menjatuhkan ST kasus utang piutang dijadikan pidana membuat keluarga ST kecewa dan menjadi bahan pertanyaan.
Bila ditarik dalam hukum kasus sangketa utang piutang bisa berakhir di ranah pidana menurut perkara perdata berupa wanprestasi dapat di laporkan pidana dengan memenuhi beberapa unsur, seperti apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkain kebohongan.
Jelas kalimat diatas bisa dijadikan pidanaa, tetapi ST tidak sama sekali melakukan perjanjian diatas, karena kasus menimpa ST hanya sekedar dagang barang, dimana ST yang berusaha toko perabotan stainless toko kelontong dengan PT Subron (Feddy) sebagai freelance dan Nizen (Ricky) , dimana dalam hal ini, kedua belah pihak tidak ada perjanjian.
Awalnya ST sebelum kejadian covid transaksi dagang berjalan dengan lancar,saat terjadi covid ST mulai tersendat dan hutang tersebut pernah di bayarkan cicil kepada PT Subron (feddy) dan PT Nizen (riicky) karena pemasukkan toko selama covid tidak ada, karena banyak toko -toko langganan tutup. Bulan 9 tahun 2023 ada juga pembayaran kembali.
Ditarik dari berita diatas tidak bisa dijadikan kasus utang piutang ST masuk pidana karena, ST tidak memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkain kebohongan. Bahkan ST kooperatif setiap panggilan kepolisian dan kejaksaan dan tidak pernah mangkir.
Bahkan yang paling membinggungkan dalam kasus perdata perkara utang piutang ini antara ST dengan PT Subron (Feddy) sebagai freelance dan Nizen (Ricky) tidak ada melakukan ikatan perjajian sama sekali. Hanya sekedar titip barang dan bagi keuntungan.
"Tetapi penahanan ST di duga seperti dipaksakan, karena Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”), " Ungkap Sumihar kepada wartawan, Senin (11/10/2024)
Dalam laporan ke Polda Jawa Barat melalui laporan nomor : S TAP N / RES 1.11/ 2024/Diskrimun. Tentang penetapan penangkapan dengan pasal 372, 378, dan 379. Laporanan hasil gelar perkara 2 Mei 2024. Padahal gelar Perkara tanpa melibatkan ST.
"Apakabisa gelar perkara tanpa dihadiri terlapor ST, ini juga pertanyaan kami yang nanti diberitahu kepada kuasa hukum,"tegas Sumihar.
Dalam hukum yang berlaku ada pengecualian di mana perkara perdata, seperti uang piutang dapat dituntut secara pidana, namun harus memenuhi beberapa unsur yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah: a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum; b. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang; c. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
“Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990,” katanya dalam artikel Klinik Hukumonline mengenai
Selain itu, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa.
Dengan undang -undang diatas maka bisa dijadikan pidana yang diterima ST cacat hukum dan bisa dilepaskan.
(EC/Team)
0 Komentar